OPINI: Menghapus Stigma Negatif tentang Guru | TINTAHIJAU.com
7 mins read

OPINI: Menghapus Stigma Negatif tentang Guru | TINTAHIJAU.com

Beberapa waktu terakhir, publik Indonesia diguncang oleh sebuah isu yang memancing pro dan kontra di jagat maya. Sebuah potongan video beredar luas di media sosial, berisi narasi bahwa seorang pejabat tinggi negara menyebut “guru adalah beban negara”. Video itu memicu reaksi keras, terutama dari kalangan pendidik yang merasa direndahkan martabatnya.

Namun setelah ditelusuri, pernyataan itu ternyata tidak pernah ada. Kementerian Kominfo bersama sejumlah media arus utama telah menegaskan bahwa video tersebut adalah manipulasi digital alias hoaks. Klaim itu dipelintir dari konteks yang berbeda lalu dipotong sedemikian rupa sehingga menimbulkan kesan seolah-olah guru diremehkan. Fakta ini memperlihatkan betapa mudahnya percakapan publik tergiring oleh potongan informasi yang menyesatkan, tanpa sempat diverifikasi terlebih dahulu.

Meskipun sudah ada klarifikasi resmi, dampak sosialnya tetap terasa. Banyak guru yang terluka batinnya karena stigma tersebut. Bagaimana mungkin profesi yang selama ini dianggap mulia tiba-tiba dilabeli sebagai beban? Apalagi, guru justru adalah pihak yang paling konsisten menjaga semangat belajar generasi bangsa, bahkan di tengah keterbatasan fasilitas, upah, dan apresiasi.

Ironisnya, isu hoaks tentang guru ini muncul berbarengan dengan pemberitaan mengenai tunjangan rumah anggota DPR yang nilainya mencapai Rp50 juta per bulan. Walaupun kemudian diklarifikasi bahwa tunjangan itu bersifat sementara hingga Oktober 2025, publik terlanjur membandingkan. Di satu sisi, guru honorer masih banyak yang menerima gaji di bawah standar upah minimum, bahkan ada yang hanya beberapa ratus ribu rupiah per bulan. Di sisi lain, para wakil rakyat justru diberi fasilitas jumbo. Kontras inilah yang mengusik rasa keadilan masyarakat.

Perbandingan ini membuat wacana “guru beban negara” menjadi semakin tidak masuk akal. Bagaimana mungkin profesi yang setiap hari mendidik anak-anak bangsa dianggap beban, sementara anggaran besar untuk tunjangan pejabat dipandang wajar? Publik kemudian bertanya: sejauh mana negara benar-benar menempatkan guru pada posisi terhormat yang seharusnya?

Menyebut guru sebagai beban jelas keliru. Guru adalah investasi jangka panjang yang tak ternilai. Mereka bukan sekadar penyampai pelajaran, melainkan arsitek peradaban. Dari tangan guru lahir para ilmuwan, dokter, insinyur, hakim, bahkan politisi. Tidak ada profesi di dunia ini yang bisa berdiri tanpa jasa guru. Maka, melabeli guru sebagai beban sama saja dengan merendahkan seluruh fondasi pembangunan manusia.
Konstitusi Indonesia pun mengakui hal itu.

Undang-Undang Dasar 1945 mengamanatkan agar minimal 20% APBN dialokasikan untuk pendidikan (https://mediakeuangan.kemenkeu.go.id). Pada tahun 2025, anggaran pendidikan diperkirakan mencapai Rp724,3 triliun. Angka yang fantastis ini sering dipandang sebagai beban anggaran. Padahal, dalam logika pembangunan, pendidikan adalah belanja produktif. Hasilnya memang tidak instan, tetapi manfaatnya akan terlihat dalam kualitas sumber daya manusia yang lebih cerdas, sehat, dan produktif.

Beberapa pakar pendidikan turut menyoroti isu ini. Satriwan Salim dari Perhimpunan Pendidikan dan Guru (P2G) menegaskan bahwa pemerintah tidak boleh hanya membanggakan besarnya anggaran pendidikan tanpa melihat dampaknya di lapangan. Menurutnya, masih banyak guru honorer yang hidup dengan gaji minim dan tanpa kepastian status. Jika kesejahteraan mereka tidak diperbaiki, sulit berharap ada peningkatan kualitas pembelajaran.

Hal senada disampaikan Retno Listyarti dari Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI). Ia mengingatkan bahwa kebijakan penataan guru harus dilakukan secara manusiawi. Jangan sampai guru yang telah mengabdi bertahun-tahun tiba-tiba kehilangan pekerjaan hanya karena aturan baru. Guru membutuhkan kepastian status, jalur karier yang jelas, dan penghasilan yang layak. Tanpa itu semua, profesi guru akan semakin ditinggalkan oleh generasi muda berbakat.

Sementara pengamat pendidikan Darmaningtyas bahkan lebih keras menyuarakan kritik. Ia menyebut kebijakan yang menyingkirkan guru honorer secara massal sebagai tindakan “ngawur” dan “tidak berperikemanusiaan”. Menurutnya, pembenahan pendidikan tidak bisa dilakukan dengan cara mengorbankan guru. Justru sebaliknya, guru harus dijadikan mitra utama dalam setiap perubahan.

Dari pandangan para pakar tersebut, jelas terlihat bahwa persoalan guru di Indonesia bukan soal “beban negara”. Persoalan utamanya terletak pada distribusi yang tidak merata, status kerja yang tidak pasti, kesejahteraan yang masih rendah, serta beban administrasi yang berlebihan. Menyederhanakan masalah ini dengan menyebut guru sebagai beban justru akan semakin menyesatkan arah kebijakan.

Narasi negatif terhadap guru juga sangat berbahaya bagi regenerasi profesi. Jika guru terus-menerus dianggap beban, generasi muda terbaik akan enggan memilih profesi ini. Akibatnya, kualitas pendidikan bisa menurun karena tidak ada lagi talenta unggul yang bersedia mengabdi di ruang kelas. Kita tentu tidak ingin pendidikan bangsa berada di tangan orang-orang yang memilih profesi guru hanya sebagai pilihan terakhir.

Lalu apa yang seharusnya dilakukan negara? Ada beberapa langkah konkret yang perlu segera diambil. Pertama, memperbaiki distribusi guru. Masih banyak daerah terpencil yang kekurangan guru, sementara di kota-kota besar jumlah guru justru berlebih. Pemetaan yang lebih akurat diperlukan agar pemerataan bisa terwujud.
Kedua, menjamin kesejahteraan guru.

Pengangkatan guru honorer menjadi ASN/PPPK harus direalisasikan secara transparan dan berkeadilan. Bagi guru non-ASN, negara harus menyediakan skema penghasilan minimum layak, ditambah dengan jaminan sosial. Tanpa kepastian ini, kualitas pendidikan sulit berkembang.

Ketiga, mengembangkan kompetensi guru secara berkelanjutan. Program pelatihan harus relevan dengan kebutuhan di kelas, bukan sekadar formalitas untuk memenuhi laporan administrasi. Guru membutuhkan pendampingan yang nyata, komunitas belajar, dan ruang untuk mengasah keterampilan mengajar.

Keempat, mengurangi beban administrasi. Banyak guru yang mengeluhkan tumpukan laporan, form, dan dokumen yang harus diisi. Akibatnya, waktu untuk menyiapkan pembelajaran berkurang drastis. Digitalisasi yang efektif dapat memangkas birokrasi ini sehingga guru kembali bisa fokus pada murid.

Kelima, memperbaiki komunikasi publik. Pemerintah harus berhati-hati dalam menyampaikan kebijakan yang sensitif, terutama yang berkaitan dengan anggaran. Isu tunjangan pejabat misalnya, harus dijelaskan secara terbuka agar publik memahami konteksnya. Tanpa komunikasi yang jernih, kebijakan apa pun bisa memicu salah paham dan memperburuk ketidakpercayaan masyarakat.

Hoaks “guru beban negara” seharusnya menjadi pelajaran penting. Pertama, tentang pentingnya verifikasi sebelum menyebarkan informasi. Kedua, tentang perlunya mengarahkan energi publik pada solusi nyata, bukan pada isu palsu yang memecah belah. Dan ketiga, tentang kewajiban kita bersama untuk menjaga martabat guru sebagai bagian dari kehormatan bangsa.

Guru bukan beban. Guru adalah cahaya bangsa. Mereka adalah penjaga akal sehat generasi muda, penabur ilmu, dan penggerak perubahan. Menyebut mereka sebagai beban sama saja dengan menutup mata terhadap jasa yang telah mereka berikan. Sebaliknya, menempatkan guru sebagai investasi adalah jalan satu-satunya untuk memastikan Indonesia memiliki masa depan yang cerah.

Kita semua—pemerintah, masyarakat, dan media—punya tanggung jawab moral untuk menghapus stigma negatif ini. Jika guru dimuliakan, masa depan bangsa ikut terangkat. Jika guru disejahterakan, generasi muda akan lebih bersemangat belajar. Dan jika guru diberi kepastian, maka pendidikan Indonesia akan melangkah lebih mantap menuju peradaban yang maju.

Maka, sudah saatnya kita berhenti membicarakan guru dengan nada curiga atau menyudutkan. Mari berbicara dengan nada hormat, nada syukur, dan nada optimis. Sebab di tangan guru-lah masa depan kita semua digenggam. Guru bukan beban negara. Guru adalah aset terbesar yang kita miliki.

Idi Darusman, S.H.I., M.Pd, Penulis adalah Pendidik di Yayasan Darunnajah Jakarta

News
Berita
News Flash
Blog
Technology
Sports
Sport
Football
Tips
Finance
Berita Terkini
Berita Terbaru
Berita Kekinian
News
Berita Terkini
Olahraga
Pasang Internet Myrepublic
Jasa Import China
Jasa Import Door to Door